PRIVASI

Menjaga Etika dan Privasi Data Kesehatan Tantangan Besar di Era Digital

MIK.Umsida.ac.id– Di tengah pesatnya transformasi digital, isu etika, privasi, dan tata kelola data kesehatan menjadi sorotan serius. Dosen Manajemen Informasi Kesehatan (MIK) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Auliayur Rabbani S Kom M Sc, menegaskan bahwa pemanfaatan data kesehatan untuk kebijakan publik harus disertai dengan prinsip kehati-hatian.

Baca Juga: MIK Umsida Raih 100% Kompeten di UKOM, Bukti Keunggulan Pendidikan Berbasis Kompetensi

“Menjaga kerahasiaan data pasien adalah prasyarat etis yang non-negosiable,” tegasnya.

Kerahasiaan Data Pasien Sebagai Syarat Etis

Menurut Auliayur, perkembangan teknologi memang membuka peluang besar dalam pengelolaan data kesehatan. Namun, ia mengingatkan bahwa data pasien bukan sekadar angka, melainkan identitas pribadi yang wajib dijaga.

“Langkah-langkahnya harus holistik, mencakup kebijakan, teknologi, hukum, dan SDM,” jelasnya.

Dari sisi kebijakan, ia menilai penting adanya SOP dan kontrol akses yang ketat untuk membatasi siapa saja yang berhak melihat data sensitif.

Dari sisi teknologi, penerapan enkripsi dan teknik anonymization adalah langkah wajib, terutama saat data digunakan untuk penelitian atau evaluasi kebijakan.

“Selain itu, kepatuhan terhadap UU PDP dan prinsip informed consent juga harus menjadi prioritas. Pasien berhak tahu dan memberi izin sebelum data mereka dipakai,” tambahnya.

Ia menegaskan, tanpa prinsip etika, penggunaan data kesehatan justru bisa menimbulkan risiko baru yang merugikan masyarakat.

Tantangan Tata Kelola dan Interoperabilitas
PRIVASI
Sumber: AI

Meski sudah ada regulasi, Auliayur menyebut tantangan terbesar terletak pada interoperabilitas dan tata kelola data. Banyak lembaga kesehatan menggunakan standar dan format data berbeda, sehingga sulit untuk saling berbagi informasi.

“Perbedaan standar dan format data antar lembaga sering kali membuat data tidak bisa dikonsolidasikan dengan baik,” ungkapnya.

Untuk mengatasi hal tersebut, perlu adanya kerangka hukum yang jelas melalui Data Sharing Agreement. Hal ini bertujuan membangun kepercayaan antar lembaga dan menjamin data digunakan sesuai tujuan.

“Tata kelola data bukan hanya soal teknis, tapi juga kepercayaan. Harus ada mekanisme yang membuat semua pihak merasa aman untuk berbagi data,” jelasnya.

Selain itu, Auliayur menekankan perlunya keseimbangan. Data harus tetap berguna untuk analisis kebijakan, namun tidak boleh mengorbankan privasi individu.

“Di sinilah kita perlu mencari titik optimum, bagaimana data bisa tetap dipakai untuk kepentingan publik tanpa melanggar hak pribadi,” katanya.

Salah satu pendekatan yang menurutnya bisa digunakan adalah privasi diferensial, yaitu metode yang memungkinkan data tetap dianalisis tanpa mengungkap identitas spesifik individu. Dengan cara ini, kepentingan publik dan privasi tetap bisa berjalan beriringan.

Membangun Budaya Keamanan Informasi

Auliayur menekankan bahwa menjaga data kesehatan bukan hanya tugas teknologi atau regulasi, tetapi juga budaya organisasi.

“SDM adalah faktor kunci. Kita perlu membangun budaya keamanan informasi melalui pelatihan berkelanjutan,” jelasnya.

Menurutnya, tenaga kesehatan dan pengelola data harus paham bahwa setiap pelanggaran privasi, sekecil apa pun, bisa menimbulkan dampak besar. Oleh karena itu, edukasi dan pembiasaan disiplin keamanan informasi sangat penting dilakukan secara konsisten.

“Menjaga privasi itu bukan sekadar aturan, tapi juga kesadaran bersama. Kalau semua pihak sadar pentingnya privasi, risiko kebocoran bisa ditekan,” tambahnya. Ia menegaskan bahwa budaya ini akan menjadi benteng terakhir ketika teknologi dan regulasi tidak cukup.

Ke depan, ia berharap setiap lembaga kesehatan di Indonesia bisa mengembangkan standar keamanan informasi yang tidak hanya sesuai regulasi nasional, tetapi juga setara dengan standar internasional.

Hal ini akan memperkuat posisi Indonesia dalam pengelolaan data kesehatan di era global.

Baca Juga: PKL Komprehensif MIK Umsida Wujudkan Kesiapan Mahasiswa Hadapi Tantangan Rekam Medis Elektronik

Melalui  wawancara dengan Dosen MIK Umsida menunjukkan bahwa tantangan etika, privasi, dan tata kelola data kesehatan adalah isu penting yang harus dijawab di era digital. Dari kebutuhan SOP dan enkripsi, tantangan interoperabilitas, hingga pentingnya membangun budaya keamanan informasi, semuanya menjadi aspek krusial.

“Menjaga kerahasiaan data pasien adalah prasyarat etis yang non-negosiable,” simpul Auliayur. Dengan penerapan tata kelola yang kuat, kepatuhan hukum, dan kesadaran SDM, data kesehatan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kebijakan publik tanpa mengorbankan privasi masyarakat.

Sumber : Auliyaur Rabbani

Penulis: Novia

.