Mik.umsida.ac.id – Masyarakat dunia terus dihadapkan pada tantangan untuk mencapai cakupan vaksinasi COVID-19 yang optimal. Di tengah pesatnya penyebaran informasi dan misinformasi, pemahaman terhadap sikap dan perilaku masyarakat menjadi kunci keberhasilan program vaksinasi.
Baca Juga : MIK Umsida Ungkap Aplikasi E-Visum Mengurangi Risiko Human Error dalam Pemeriksaan Visum
Penelitian yang dilakukan oleh Dosen Program Studi Manajemen Informasi Kesehatan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (MIK Umsida), Resta Dwi Yuliani S Tr Kes M K M, dengan menggunakanSalah satu pendekatan yang terbukti efektif untuk mengevaluasi niat dan penerimaan masyarakat terhadap vaksinasi adalah Health Belief Model (HBM).
Model ini digunakan dalam banyak penelitian lintas negara, termasuk Indonesia, untuk memprediksi intensi vaksinasi dan menilai efektivitas kampanye kesehatan masyarakat.
Dimensi Health Belief Model dan Kaitannya dengan Vaksinasi COVID-19

Health Belief Model merupakan teori perilaku kesehatan yang menjelaskan bagaimana persepsi individu terhadap ancaman kesehatan dan manfaat dari tindakan preventif dapat mempengaruhi keputusan mereka untuk bertindak. Dalam konteks vaksin COVID-19, HBM menganalisis lima dimensi utama:
-
Perceived Susceptibility (Kerentanan yang Dirasakan): Seberapa besar individu merasa rentan terhadap infeksi COVID-19.
-
Perceived Severity (Keparahan yang Dirasakan): Pandangan individu tentang keseriusan penyakit COVID-19.
-
Perceived Benefits (Manfaat yang Dirasakan): Keyakinan akan manfaat vaksin dalam mencegah atau mengurangi dampak penyakit.
-
Perceived Barriers (Hambatan yang Dirasakan): Kendala yang dihadapi seperti rasa takut efek samping, kurangnya informasi, atau akses vaksinasi.
-
Cues to Action dan Self-Efficacy: Faktor pendorong dari luar seperti anjuran tenaga medis, serta keyakinan diri dalam menjalani vaksinasi.
Penelitian oleh Mahmud et al. (2021) di Arab Saudi serta Patwary et al. (2021) di Bangladesh menunjukkan bahwa dimensi HBM secara signifikan mempengaruhi niat vaksinasi masyarakat.
Temuan serupa juga dilaporkan oleh Wong et al. (2020) di Hong Kong, yang menyatakan bahwa kepercayaan terhadap efektivitas vaksin dan persepsi risiko tinggi terhadap COVID-19 meningkatkan keinginan masyarakat untuk menerima vaksin.
Faktor Sosial dan Psikologis yang Mempengaruhi Intensi Vaksinasi
Selain dimensi HBM, berbagai faktor eksternal turut memengaruhi keputusan seseorang untuk menerima vaksin. Penelitian dari Shmueli (2021) di Israel menunjukkan bahwa pemberian insentif dapat memperkuat motivasi masyarakat dalam menerima vaksin.
Di sisi lain, studi Jiang et al. (2021) mengungkap bahwa jenis pekerjaan juga mempengaruhi persepsi risiko terhadap COVID-19 dan niat vaksinasi—tenaga kesehatan cenderung memiliki intensi lebih tinggi dibanding masyarakat umum.
Adapun barrier yang paling sering muncul adalah kekhawatiran terhadap efek samping dan kepercayaan terhadap keamanan vaksin. Hal ini diperkuat oleh temuan Banik et al. (2021) di Bangladesh, yang menyoroti pentingnya literasi kesehatan masyarakat.
Kurangnya informasi yang akurat menjadi celah yang mudah diisi oleh hoaks atau teori konspirasi, yang justru menurunkan intensi vaksinasi.
Strategi promosi kesehatan pun menjadi sorotan penting. Hardiansyah dkk. (2022) meneliti implementasi HBM pada tenaga kesehatan di Kabupaten Nagan Raya dan menyimpulkan bahwa edukasi berkelanjutan serta pendekatan persuasif dari tokoh masyarakat dan tenaga medis efektif dalam meningkatkan partisipasi vaksinasi.
Implikasi untuk Strategi Kesehatan Masyarakat dan Peran Institusi Akademik
Berdasarkan berbagai studi yang dikaji, pendekatan HBM tidak hanya menjadi alat analisis, tetapi juga dapat diterapkan sebagai dasar pengembangan intervensi promosi kesehatan. Strategi yang dibangun di atas pemahaman persepsi masyarakat akan lebih tepat sasaran dan efektif dalam meningkatkan cakupan vaksinasi.
Institusi akademik seperti Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, melalui Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat dan keilmuan promosi kesehatan, memiliki peran penting dalam mendorong riset berbasis HBM. Tidak hanya dalam konteks vaksinasi COVID-19, tetapi juga sebagai kerangka evaluasi untuk berbagai isu kesehatan preventif seperti imunisasi dasar, skrining kanker, dan penanganan penyakit tidak menular.
Penting pula untuk menanamkan prinsip komunikasi risiko yang berbasis data dan empati, serta membangun literasi digital agar masyarakat mampu memilah informasi. Evaluasi berbasis HBM memberi arah bahwa penekanan pada manfaat vaksin dan pengurangan hambatan dapat secara signifikan meningkatkan intensi dan cakupan vaksinasi, khususnya di kelompok rentan.
Baca Juga : Akreditasi Baik Sekali D4 MIK Umsida Jadi Langkah Awal Penguatan Mutu Nasional
Pendekatan Health Belief Model terbukti efektif dalam menjelaskan faktor-faktor psikologis dan sosial yang memengaruhi niat masyarakat untuk menerima vaksin COVID-19. Integrasi dimensi HBM dalam kampanye vaksinasi memungkinkan strategi yang lebih berbasis data dan kebutuhan masyarakat. Peran akademisi, tenaga kesehatan, dan pembuat kebijakan sangat krusial untuk menerjemahkan hasil riset menjadi aksi nyata yang berdampak luas.
Sumber : Resta Dwi Yuliani
Penulis : Novia